Oleh : Brenny Novriansyah, Ph.D
Ketika di pondok dulu, saya sering mendengar ucapan Alm. KH. Dr. Abdullah Syukri Zarkasyi, MA terkait pendidikan di pesantren, bahwa: “apa yang kamu lihat, apa yang kamu dengar, apa yang kamu rasakan, dan apa yang kamu lakukan, semua itu adalah pendidikan”. Ungkapan ini senada dengan pernyataan sang guru besar Confusius (551 SM – 479 SM) I hear, I know. I see, I remember. I do, I understand. Sebuah filosofi logis dari pendidikan dalam pembangunan manusia seutuhnya sebagai insan kamil.
Konsekuensinya adalah bahwa lingkungan berperan sangat penting dalam pembentukan karakter sebagaimana teori Tabularasa John Locke (1632-1704). Dalam pandangan Tabularasa bahwa pengalamanlah yang banyak memberi kontribusi individu dalam pembentukan kepribadian, prilaku sosial, emosional, dan kecerdasan. Terlebih dalam tradisi keislaman bahwa adab harus lebih didahulukan daripada ilmu. Ketinggian adab seseorang menunjukkan kemuliaan dirinya. Hal ini hanya akan terbentuk, melalui pengalaman individu selama berada dalam lingkungan yang menjunjung tinggi adab.
Madrasah Pesantren
Pendidikan pesantren yang merupakan notabene sistem pendidikan tertua di Indonesia dan memiliki kekhasan tersendiri sebagai warisan budaya dari Sunan Bonang di tanah Jawa, telah lebih dulu menerapkan pendidikan karakter yang dibentuk dari miliu para santri. Keunggulan sistem pesantren sempat dilirik oleh mantan presiden RI BJ.Habibi yang kemudian menginisiasi berdirinya Madrasah Aliyah Insan Cendekia di Serpong yang lebih mengedepankan pendidikan sains untuk mencetak ilmuwan-ilmuwan muslim.
Madrasah pesantren umumnya didirikan oleh kyai atau ustadz yang berpengalaman mengelola pondok pesantren dan menjalankan dakwah Islam untuk membuat perubahan akhlak masyarakat. Instalasi sistem madrasah dalam pondok pesantren merupakan upaya untuk menjawab tantangan zaman bahwa lulusan pesantren kelak dapat bekerja dan melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi dengan menggunakan ijazah madrasah yang diakui oleh pemerintah.
Pada madrasah yang berbasis dalam pondok pesantren tentunya memiliki akar karakter yang kuat, karena para santrinya berada dalam lingkungan tertentu dan dekat dengan para asatidz dan kyai. Pada umumnya para asatidz/guru dan kyai tinggal didalam pesantren dan membimbing para santrinya selama 24 jam penuh. Santri tinggal dalam asrama, jauh dari keluarga, bahkan jauh dari pengaruh-pengaruh juvenile delinquency yang banyak merusak generasi. Sehingga pesantren akan lebih mudah dalam membentuk karakter, karena pendidikan didalamnya adalah pendidikan kehidupan. Dimana para santri diajarkan hidup mandiri tanpa bergantung dengan orang tua.
Kebanyakan Madrasah Pesantren menerapkan sistem pendidikan untuk peserta didik yang homogen, hanya laki-laki atau hanya perempuan. Walaupun pesantren menerima santri dan santriwati namun keduanya ditempatkan di lokasi yang berbeda untuk menghindari ikhtilath atau percampuran antara laki-laki dan perempuan di satu tempat yang sangat memungkinkan untuk menimbulkan fitnah, juga agar santri terhindar dari pancingan syahwat dan terjauh dari perbuatan zina, yang ini akan berdampak buruk bagi akhlak santri. Sebenarnya sistem adamul ikhtilath (tidak bercampur laki dan perempuan) juga berlaku pada madrasah-madrasah di negeri asal sistem madrasah, seperti Saudi, Mesir, Iraq, Jordan, dll. Sistem ini tentunya bertentangan dengan kondisi madrasah di Indonesia saat ini.
Sistem madrasah yang berbasis di pesantren terbukti menghasilkan lulusan yang unggul di masyarakat. Memiliki kemampuan berbahasa Arab dan Inggris yang fasih. Kemandirian, percaya diri, dan kemampuan berpidato yang baik. Sehingga banyak lulusannya melanjutkan studi di luar negeri dan aktif dalam forum-forum internasional.
Madrasah Berasrama
Sedangkan madrasah berasrama merupakan lembaga pendidikan murni sistem madrasah yang sepenuhnya mengacu pada PMA nomor 90 tahun 2013 tentang penyelenggaraan pendidikan madrasah. Madrasah berasrama awalnya adalah madrasah biasa yang siswanya datang ke madrasah di pagi hari dan pulang kerumah masing-masing sore harinya. Akan tetapi baik dari segi sumber daya maupun prestasi yang pernah ditorehkan madrasah ini, menjadikan ia layak untuk melebur diri menjadi madrasah berasrama.
Ketika madrasah diinstalasi sistem berasrama layaknya pondok pesantren, maka tantangan besar yang akan dihadapi oleh para manajer madrasah adalah kesiapan dan kemampuan mengadopsi sistem pesantren baik kurikulum, kultur dan manajemennya. Serta komitmen seperti halnya kyai dan asatidz di pesantren dalam memberikan bimbingan selama 24 jam penuh sehari-semalam.
Maka dari sinilah problem madrasah boarding berawal. Dimana madrasah yang dikonversi menjadi boarding, mengadopsi sistem pendidikan pesantren. Sehingga yang diadopsi adalah Zhaahiran wa laa baathinan atau hanya aspek fisik saja tanpa aspek non-fisik. Aspek non-fisik pada pesantren lebih kepada ruuh (jiwa) atau disebut juga hidden curriculum.
Yang penulis maksudkan adalah bahwa pesantren dibangun dari ruh dan semangat keislaman, sedangkan aspek pembangunan fisik dibangun oleh para santri untuk kepentingan para santri sendiri dan Kyai tidak menerima gaji dari uang santri. Kyai mencari penghidupan diluar pesantren untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Sehingga sense of belonging terhadap ilmu yang diterima, serta keberkahan ilmu dari sang-Kyai menjadi nilai plus yang mendarah daging dalam diri santri. Nilai-nilai normatif keagamaan serta jiwa keikhlasan menjadi benar-benar meresap dalam diri santri seiring untaian doa-doa para mujahid fi-sabilillah ini menjadi keberkahan dalam hidup santri.
Hal ini berbanding terbalik dengan madrasah yang diinstalasi dengan sistem pesantren. Kepemimpinan madrasah selalu berganti-ganti, figur ulama dan kyai yang disegani masyarakat dan kharismatik sulit untuk dihadirkan dalam sistem ini. Sehingga transformasi nilai-nilai normatif keagamaan, perjuangan, keikhlasan, akan menjadi tantangan tersendiri dari para pendidik.
Arah Pengembangan Madrasah
Program Madrasah Berasrama ini menjadi opsi utama pengembangan madrasah di Indonesia. Hal ini terlihat dari kebijakan menteri Agama yang terus mengupayakan dibangunnya Madrasah Berasrama sejak masa Munawwir Sazali dulu. Madrasah Aliyah Keagamaan (MAK) mengawali kebijakan konversi madrasah menjadi madrasah berasrama melalui subsidi dan beasiswa untuk sepuluh besar siswa madrasah terbaik dari madrasah tsanawiyah sekitarnya. Program ini telah melahirkan sang maestro penulis novel Kang Abik dalam bukunya “Ayat-ayat Cinta”. Penulis pun sempat berkecimpung di program ini, di madrasah tempat Kang Abik pernah belajar saat masih berkuliah di kota Solo.
Sistem pesantren modern juga turut menginspirasi pendirian MAN Insan Cendekia di Serpong yang diinisiasi oleh Prof. (Ing) B.J. Habibie pasca kunjungan beliau ke Pondok Modern Darussalam Gontor, saat penulis masih menempuh pendidikan disana. Program ini merekrut siswa-siswi terbaik dari seluruh penjuru nusantara melalui program beasiswa dan subsidi yang besar dari pemerintah. Madrasah ini diorientasikan untuk melahirkan saintis-saintis muslim yang berkontribusi dalam pengembangan keilmuan di dunia.
Slogan “Madrasah hebat madrasah bermartabat” menjadi pemacu semangat para insan madrasah untuk terus meningkatkan kapasitas diri seiring menciptakan pundi-pundi prestasi. Nama baik madrasah mulai bergengsi. Masyarakat akhirnya mulai jatuh hati. Madrasah kini hadir menjadi opsi bagi para wali untuk pendidikan putra-putri.
Sistem berasrama yang saat ini diluncurkan Kementerian Agama melalui program SBSN, merupakan upaya Quality Assurance pendidikan madrasah untuk mentransformasi nilai-nilai normatif Islam dan peningkatan mutu lulusan yang lebih kompetitif dimasa depan. Wallahu’alam