Disparitas madrasah sebagai lembaga pendidikan untuk kalangan pemeluk agama tertentu menjadikan eksistensinya seolah eksklusif dan menimbulkan tanda tanya baik daya saing maupun kiprah lulusannya di masyarakat terutama dalam merangkul segala kalangan. Mengingat isu multikultural, saat ini tengah hangat di lidah banyak orang. Sudah menjadi tuntutan perubahan bahwa madrasah harus turut berperan menciptakan kedamaian dan mereduksi konflik sosial di masyarakat.
Fakta tak dapat dipungkiri bahwa sudah menjadi takdir manusia terlahir dari beragam suku, bertempat tinggal di beragam budaya dan bahasa. Kondisi ini menciptakan celah pengembangan ilmu pengetahuan sekaligus persaingan dan pertikaian akibat ketidakpahaman budaya antar kelompok. Hal ini telah menciptakan konflik antar individu, kelompok, penganut agama maupun suku.
Adanya konflik yang kerap kali terjadi terutama di negara-negara yang kaya akan budaya, suku dan agama adalah sesuatu yang lazim terjadi akibat dangkalnya pengetahuan akan perbedaan dan kekayaan budaya itu sendiri. Karena itu pendidikan multikultur hadir ditengah-tengah dunia pendidikan untuk menjembatani adanya kesenjangan pengetahuan akan budaya dan bahasa. Hal ini diupayakan untuk meminimalisasi timbulnya perselisihan antar suku, pemeluk agama maupun antar individu.
Geliat madrasah yang kental dengan slogan “Madrasah Hebat Madrasah Bermartabat” menjadikan konfigurasi madrasah memiliki posisi tawar yang diperhitungkan di kancah nasional bahkan internasional. Ditambah dengan animo yang tinggi dari masyarakat terhadap pendidikan agama disambut madrasah sebagai pilihan untuk pendidikan terbaik bagi putra-putri mereka.
Ini adalah tantangan bagi madrasah untuk terus berinovasi memberikan layanan pendidikan terbaik yang relevan untuk kepentingan perubahan peradaban bangsa. Sementara madrasah diisi oleh civitas yang monokultur, maka tulisan ini mengungkap inovasi yang dilakukan madrasah untuk mengembangkan nilai-nilai egalitarianism dan multikulturalism terhadap lulusannya.
Pendidikan Multikultur pada Monokultur
Kultur atau budaya merupakan apa yang kita pikirkan, apa yang kita lakukan dan apa yang kita pikirkan tentang pikiran orang. Kultur diciptakan oleh manusia itu sendiri dan diserap dalam aktifitas sehari-hari untuk menciptakan hidup yang damai dan tenteram. Kultur yang dihasilkan oleh suatu komunitas pada zaman tertentu belum tentu dapat diterima oleh komunitas lainnya terlebih pada zaman yang berbeda atau di area yang multikultur dan dalam konteks global.
Terminologi multikultur dapat digunakan sebagai pengganti kata global. Multikultur juga dapat diartikan bahwa semua kalangan dapat diterima tanpa ada diskriminasi. Kemampuan menerima semua kalangan dari berbagai ragam perbedaan merupakan tujuan dari pendidikan multikultur yang diharapkan dapat menciptakan kehidupan yang damai sebagai akibat dari toleransi dan penghargaan terhadap perbedaan budaya.
Multikulturalisme merupakan sistem keyakinan dan perilaku yang menghargai dan menghormati keberadaan kelompok yang berbeda-beda di dalam organisasi maupun masyarakat dengan mengenal perbedaan norma-norma kultur sosial mereka, serta memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi mereka untuk terus berkontribusi bagi kemajuan organisasi maupun kelompok masyarakat (Yusof, 2003).
Pendidikan multikultur merupakan bentuk dari pendidikan maupun pembelajaran yang melibatkan sejarah, norma-norma, agama, tradisi, serta perspektif orang dari berbagai latar belakang. Multikultur juga dikaitkan dalam makna yang luas seperti ras, etnis, kebangsaan, bahasa, agama, kelas sosial, gender, orientasi seksual, dan pengecualian seperti siswa berkebutuhan khusus atau difabel.
Dengan memiliki pengetahuan terhadap berbagai ragam kultur manusia, maka individu dapat memahami individu lainnya sehingga akan muncul kesadaran untuk menghargai apa yang dilakukan orang lain. Ini disebut sebagai hidden curriculum dari sebuah lembaga pendidikan. Sehingga perlunya memberikan pembelajaran tentang nilai-nilai multikultur, sikap, keyakinan moral yang berasal dari literatur kuno (Mehta, 2013).
Pada level kelas misalnya, guru dapat memodifikasi materi pembelajaran sebagai bentuk refleksi terhadap perbedaan kultur siswa di berbagai kelas. Guru harus mampu mengeliminasi kebijakan pendidikan, program pembelajaran, materi pembelajaran, dan praktek pembelajaran yang berpotensi memunculkan diskriminasi atau ketidaknyamanan dalam selama proses pendidikan.
Pada prinsipnya, pendidikan multikultur adalah tentang persamaan pendidikan bagi semua siswa terlepas dari budaya yang berbeda selain juga merupakan upaya untuk menghilangkan pembatas untuk mendapatkan kesempatan pendidikan bagi semua siswa yang berlatarbelakang kultur yang berbeda.
Lembaga pendidikan yang didalamnya terdapat individu-individu dari beragam kultur belum tentu dapat menciptakan pemahaman multikultural jika tidak dipertajam dengan sistem pendidikan yang nilai-nilainya didoktrin kepada semua civitas. Multikultur lebih kepada pengalaman dan wawasan yang dimiliki oleh semua civitas untuk menumbuhkan saling memahami, menghargai dan menghormati antara sesama. Serta menjaganya dengan sikap yang arif dan bijaksana.
Maka, pendidikan multikultural pada lembaga yang monokultur dapat dikembangkan secara efektif melalui sistem pengelolaan lembaga yang mengakomodasi semua kalangan secara berkeadilan. Toleransi ditujukan kepada siswa difabel atau berbeda aliran/paham dalam Islam. Selain kurikulum dan bahan ajar yang dikembangkan juga memberikan wawasan dan pengalaman terhadap adanya perbedaan paham terutama dalam perbedaan mazhab fiqih.
Siswa madrasah umumnya berasal dari berbagai organisasi maupun paham keagamaan. Keberagaman paham antar umat Islam juga menuntut siswa untuk bertoleransi antar perbedaan paham. Misalnya masalah penggunaan cadar, gerakan sholat atau bacaan sholat yang sedikit berbeda, penggunaan celak dimata, celana setengah lutut, dll. Perbedaan paham seperti ini dapat menciptakan konflik dan ketidaknyamanan peserta didik dalam belajar. Karena itu, madrasah perlu mengembangkan kurikulum yang mengakomodasi pengembangan wawasan paham keagamaan untuk peserta didiknya. Sehingga pendidikan madrasah dapat diterima oleh semua kalangan umat Islam dari berbagai latar belakang aliran mazhab.
Ranah Pendidikan Multikultur
Terdapat asumsi bahwa cara bagaimana siswa belajar dan apa yang mereka pikirkan akan sangat dipengaruhi oleh identitas kultur serta warisan tradisi dari keluarganya. Karena itu, siswa harus dididik secara efektif tentang pendekatan terhadap nilai-nilai untuk menghargai adanya perbedaan. Salah satu tujuan dari pendidikan multikultur adalah untuk meningkatkan pembelajaran siswa yang berlatarbelakang dari kelompok kultur yang beragam yang selama ini rendah pencapaian prestasi belajarnya serta mengalami banyak kendala dalam pembelajaran.
Pendidikan pada negara-negara dengan kultur yang beragam terkadang mengenyampingkan aspek perspektif kultur yang berbeda. Akan tetapi justru hanya diajarkan dari segi aspek umum yang berlaku di negara itu. Sehingga mereka merasa bahwa materi yang diajarkan adalah sesuatu yang kurang bermanfaat bagi mereka, terlebih karena faktor kendala bahasa dan tradisi yang sering kali dikesampingkan.
Beberapa ranah dimana pendidikan multikultur dapat berperan diantaranya: (1) Materi Pembelajaran; materi dapat memuat perspektif dan referensi dari beragam kultur, (2) Budaya siswa; guru diperkuat dengan mempelajari latarbelakang budaya siswa yang berbeda-beda di sekolah yang kemudian dapat diterapkan dengan memberikan pengalaman belajar yang berbeda sesuai dengan kultur mereka. Sehingga materi pelajaran akan lebih mudah diserap oleh siswa. Sebaliknya siswa juga perlu dibekali dengan latar belakang budaya teman-teman sekelasnya yang beragam melalui kegiatan diskusi dan berbagi pengalaman tentang budaya mereka masing-masing, (3) Analisa kritis; pendidik dapat mempelajari lebih dalam materi pelajaran yang potensial menciptakan makna yang bias dan memperuncing diskriminasi. Guru dan siswa dapat mendiskusikan bersama tentang materi pelajaran, proses pembelajaran serta kebijakan sekolah yang menghambat mereka untuk belajar serta terkesan kurang menghargai kultur mereka, (4) Alokasi sumber belajar; bahwa pendidikan multikultur harus mengedepankan prinsip keadilan karena itu pengalokasian bahan ajar, program pembelajaran, dan proses pembelajaran harus didasarkan pada prinsip kewajaran daripada secara ketat pada keadilan. Misalnya: seorang siswa yang tidak mampu berbahasa Indonesia dengan baik dapat belajar dengan menggunakan bahasa ibu. Sehingga secara akademik mereka tidak akan tertinggal akibat dari keterbatasan kemampuan berbahasa.
Terdapat dilemma dalam penerapan pendidikan multikultur, yaitu: para pendidik menginginkan semua siswa mengerti tentang keragaman budaya dan tradisi bangsa, baik yang buruk maupun tradisi yang baik. Namun disisi lain kita juga tidak ingin menanamkan suatu budaya yang buruk terutama yang menyudutkan kaum perempuan, perbedaan warna kulit beserta sifatnya, perawakan tubuh dan hal-hal lain yang bertentangan dengan hak azazi manusia. Yang ini akan membentuk pola pikir siswa sehingga kedepan ia akan beranggapan bahwa hal ini adalah suatu kebenaran dari nilai-nilai budaya yang dijunjung tinggi masyarakat di negaranya, padahal ini bertentangan dengan hak azazi manusia terutama bagi kaum perempuan, warna kulit tertentu, agama tertentu dan perawakan tubuh tertentu.
Rekomendasi
Penerapan pendidikan multikultur tidak semudah dengan hanya memodifikasi kurikulum serta memasukkan satu bab yang membahas tentang itu saja. Tetapi justru harus mengubah semua kurikulum dengan membuat suatu kurikulum baru yang mengakomodasi isu multikultur dan mendukung praktek multikultur dalam setiap mata pelajaran.
Kurikulum madrasah hendaknya didesain dengan mengacu kepada nilai-nilai kemanusiaan universal yang mendukung pemahaman multikultur siswa, serta memperkenalkan nilai-nilai budaya yang berbeda-beda antar suku dan agama, termasuk budaya internasional dari berbagai belahan dunia dan perbedaan warna kulit juga turut diperkenalkan. Karena pada dasarnya manusia diciptakan Allah berbeda-beda suku dan bangsa adalah untuk saling mengenal satu-sama lainnya.
Silabus yang memuat kecakapan siswa dalam memahami dan menghargai perbedaan kultur dituangkan dalam bahan ajar siswa dan buku pegangan guru yang memuat praktek pembelajaran multikultur itu sendiri. Serta pendekatan pedagogik guru dalam proses pembelajaran yang dituangkan dalam buku pegangan guru. Penyusunan bahan ajar yang kurang mempertimbangkan aspek kesetaraan gender, nilai-nilai universal dan kemanusiaan, tentunya akan mewariskan budaya lama yang mempertahankan ketidakadilan di masyarakat.
Guru adalah kunci utama dalam pelaksanaan pendidikan multikultur di sekolah. Terkadang lemahnya pemahaman terhadap suatu budaya dimana siswa minoritas berasal, membuat guru menyamaratakan praktek pembelajaran di kelas. Tindakan ini terkadang menciptakan salah paham dan seakan pelecehan terhadap siswa yang minoritas, meski si guru tidak bermaksud sengaja melakukannya. Hal ini menjadikan suasana pembelajaran menjadi tidak nyaman. Sehingga siswa menjadi tidak suka dengan mata pelajaran yang diampu oleh guru dan tujuan pembelajaran tidak dapat dicapai dengan maksimal.
Untuk merealisasikan pendidikan multikultur yang akan menciptakan perdamaian dan ketahanan bangsa, pemerintah perlu mendesain kurikulum dan mengembangkan kurikulum yang ada dengan menjunjung tinggi sikap saling menghargai dan saling menghormati. Bahkan antar sesama umat Islam sendiri, yang memiliki perbedaan paham dan aliran.