Menakar Peran Tokoh Agama Dalam Pencegahan Kekerasan Terhadap Perempuan

Bengkulu (Inmas)- Kondisi sosial masyarakat Indonesia, Khususnya Provinsi Bengkulu saat ini terjadi banyak perubahan terutama kondisi sosial masyarakat yang penyebabnya tidak lain modernisasi, dan pengaruh budaya asing.

    Tidak dapat dipungkiri, masyarakat pada umumnya tidak terlepas dari keadaan sosial, sebab masyarakat adalah zoon politicon atau masyarakat sosial yang saling berhubungan antara satu dengan yang lain, saling berinteraksi untuk mencapai tujuan hidup, akan tetapi pada interaksi sosial yang negatif akan menjerumuskan ke hal-hal yang negatif begitu juga sebaliknya.

    Adanya penyerapan unsur budaya asing yang dilakukan secara cepat dan tidak melalui suatu proses internalisasi yang mendalam dapat menyebabkan terjadinya ketimpangan antara wujud yang ditampilkan dan nilai-nilai yang menjadi landasannya atau yang biasa di sebut ketimpangan budaya. Teknologi yang berkembang pada era globalisasi ini mempengaruhi karakter sosial dan budaya.

    Salah satu kondisi sosial masyarakat yang saat ini selalu menjadi fokus perhatian pemerintah adalah tindak kekerasan terhadap perempuan, kekerasan seksual hingga pernikahan usia anak.

    Angka pernikahan di bawah umur di Indonesia sudah mencapai angka yang memprihatinkan. Namun, tak banyak yang tahu dan peduli, permasalahan pernikahan dini adalah salah satu jalan kekerasan kepada perempuan dan sebagai akibat dari persoalan domino faktor ekonomi, budaya, akses pendidikan, dan tak hanya pandangan keagamaan saja.

    Data yang mengejutkan dirilis dalam Kongres Ulama Perempuan Indonesia(KUPI)  dalam situs https://pinterpolitik.com, secara Nasional menyebutkan 1.142 Juta anak akan menikah di tahun 2020, 39.000 anak menjadi pengantin setap harinya dan kerap menikah dengan pria yang jauh lebih tua dan  1 dari 9 anak di paksa untuk menikah sebelum ulang tahun ke-15.

    Sementara itu di Provinsi Bengkulu, tingkat kerasan terhadap perempuan dan anak sebagaimana data yayasan PUPA (Pusat Pendidikan Untuk Perempuan dan Anak) merilis data Sepanjang tahun 2016, Sebanyak 275 Kasus kekerasan terjadi di Provinsi Bengkulu. Sementara tahun 2017 belum diketahui.

    Bentuk kekerasan seksual sebanyak  179 kasus atau 65%, sedangkan bentuk kekerasan fisik berupa penganiayaan sebanyak 13 ?n penelantaran 2%.

    Perkosaan paling banyak dialami oleh perempuan di Propinsi Bengkulu, yakni 155  korban, dengan persentase 86%. Sedangkan pelecehan seksual 14%.  KDRT  16%, KDP 4,7%.Dimana 95% pelaku dikenal korban dan memiliki relasi personal seperti suami, pacar atau  keluarga kandung lainnya (ayah, paman dan kakak).

    Hal ini menguatkan selama ini perempuan sebagai asset/milik. Hal ini juga penanda bahwa rumah atau lingkungan terdekat sudah tidak aman lagi pada perempuan. Maka sudah seharusnya mekanisme perlindungan berbasis komunitas atau masyarakat harus segera dibangun untuk memperoleh perlindungan.

    Pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama telah menyadari bahwa perubahan sosial dan pengaruh, modernisasi dan budaya asing suka atau tidak suka akan berdampak pada prilaku dan kebiasaan masyarakat dengan melakukan revisi undang-undang nomor 1 tahun 1974 dengan menaikkan batasan usia perkawianan bagi perempuan dari 16 tahun menjadi 18 tahun.

    Selain itu Menteri Agama, Lukman Hakim Saefuddin juga mendukung fatwa tentang bagaimana menghilangkan kekerasan seksual dan pernikahan anak dalam kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) belum lama ini.

    Kekuatan pemerintah yang terbatas dalam usaha melindungi hak-hak kaum perempuan dan anak sebenarnya bisa ditopang dengan keberadaan ulama dan tokoh agama selaku bagian dari pemimpin umat. Peran itu terwujud melalui kekuatan pengetahuan agama untuk bersikap kritis dan mampu menganalisis setiap persoalan perempuan. Sayangnya, gerak ulama dan tokoh agama cenderung terbatas pada wilayah tertentu.

    Sebagai komitem dan bentuk kekhawatiran akan prilaku sosial masyarakat, Minggu (7/1/2018) Kanwil Kementerian Agama bersama pemda Provinsi Bengkulu menginisiasi kegiatan penandatanganan Deklarasi dan Komitmen Ulama dan Tokoh agama dalam pencegahan kekerasan terhadap perempuan dan anak serta pencegahan pernikahan usia anak.

    Hadir dalam penandatanganan komitmen dan deklarasi bersama itu perwakilan tokoh dari lima agama yakni Islam, Budha, Hindu, Kristen Katolik, dan Kristen Protestan serta seluruh anggota Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Provinsi Bengkulu.

    Kementerian Agama Provinsi Bengkulu menyadari bahwa pencegahan kekerasan terhadap perempuan dan anak bukan hanya tugas aparatur pemerintah tapi seluruh elemen masyarakat, termasuk para ulama dan tokoh agama.    

    Tokoh agama tidak hanya bisa menjadi rujukan terhadap wacana keagamaan yang kerap ditanyakan kaum perempuan, tetapi juga persoalan sehari-hari semacam rumah tangga, pekerjaan dan masalah lain yang tidak berkaitan dengan persoalan agama.

    Berdasarkan data Kementerian Agama Provinsi Bengkulu (http://simpenais.kemenag.go.id), Selain para ulama, Provinsi Bengkulu saat ini memiliki 47 orang Penyuluh Agama Islam PNS dan 887 Penyuluh Agama Islam Non PNS yang tersebar di 10 Kabupaten/Kota di Provinsi Bengkulu, ditambah penyuluh agama Katolik, Kristen, Hindu dan Budha.

    Tokoh agama dan penyuluh agama memiliki peran strategis dalam menekan tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak  dengan melakukan  pendekatan dan komunikasi yang ringan dengan bahasa agama, seperti dalam islam semacam al musawah, al adli, al ma'ruh, dan al sakinah.

    Disamping itu, ulama harus bergerak dalam ibadah sosial  yang lebih luas dan aktif. Sebab ibadah sosial memiliki manfaat yang sama besar dengan ibadah mahdoh semata.

    Peran tokoh agama dalam pengendalian sosial di lingkungan tempat tinggal merupakan perantara untuk menyampaikan hal-hal baik, penyelenggara kegiatan kerohanian, Menambah wawasan masyarakat tentang makna agama serta Mendorong semangat kaum remaja dalam mempelajari serta mempraktikkan ilmu agama

    Tokoh agama sangat berpengaruh dalam lingkungan karena nilai dan norma yang ditanamnya berkaitan dengan kasih sayang, menghargai, dan mencintai. Pengendalian yang dilakukan tokoh agama terutama ditujukan untuk menentang perbuatan yang tidak sesuai dengan nilai dan norma agama.

    Terakhir yang paling penting adalah untuk dapat membangun keluarga harus diawali dengan memilih pasangan yang baik, saling memahami hak dan kewajiban Saling empati dan tenggang rasa dan beromitmen dalam menjalankan bahtera rumah tangga sebagai mana firman alloh yang berbuntyi "Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (At-Taubah: 71)

Penulis : Jaja, M.Si
JFU Subbag Informasi dan Humas Kanwil Kemenag Bengkulu

 

 


TERKAIT

Opini LAINNYA