Birokrasi di Indonesia ketika persepsi yang muncul adalah suatu system pelayanan dan administrasi pemerintahan yang terkesan aneh, berbelit-belit dan lamban. Birokrasi merupakan penyakit menahun di tanah air yang sulit di ubah. Namun setelah reformasi politik sekitar tahun 1998 terjadei, maka banyak upaya dan program-program pembangunan dan pengembangan kelembagaan yang juga direformasi menuju system yang lebih demokratis.
Birokrasi, dunia usaha dan masyarakat adalah tiga pilar utama dalam upaya mewujudkan pelaksanaan pemerintah yang baik dikenal dengan konsep “good governance”. Birokrasi sebagai organisasi formal memiliki kedudukan dan cara kerja yang terikat dengan peraturan, memiliki kompetensi sesuai jabatan atau wewenang, semangat pelayanan public, pemisahan yang tegas antara milik organisasi dan individu serta sumber daya organisasi yang tidak bebas dari pengawasan eksternal. Jika kondisi ini bias terpenuhi maka harapan mewujudkan cita-cita dan tujuan Negara yang demokratis akan membawa kebaikan bagi Negara dan bangsa ini.
Karena itu birorasi harus bisa dipahami, melalui peran dan kemampuannya, menunjang pelaksanaan system pemerintahan, baik dalam merespon berbagai permasalahan maupun dalam memberikan pelayanan terhadap masyarakat. Inti salah satu kondisi birokrasi yang professional adalah memberikan pelayanan tewrhadap masyarakat (public service), sehingga cita-cita, inisiatif dan upaya-upaya birokrasi perlu diarahkan guna memiliki wawasan pelayanan public. Birokrasi hadir sebagai kreasi dari penguasa untuk memberikan pelayanan kepada penguasa, dengan tujuan untuk memperluas dan memperbesar serta mempertahankan kekkuasaan. Dengan reformasi birokrasi yang dilakukan, konseppelayanan pun dilakukan perubahan, dari orientasi pelayanan penguasa sampai saatnya menuju orientasi pelayanan public.
Birokrasi di Indonesia : Era 60an dan Kondisi saat Kini
Selama lebih dari 60 tahun Indonesia merdeka, birokrasi telah berperan besar dalam perjalanan hidup. Khususnya, setelah reformasi politik di tanah air tahun 1998, upaya-upaya pembaharuan dalam manajemen pemerintahan terus dilakukan untuk meningkatkan kinerja birokrasi. Selama orde baru, birokrasi memiliki andil besar dalam proses pembangunan. Pelaksanaan fungsi-fungsi pemerintahan seperti pelayanan public, regulasi, proteksi, dan distribusi pada dasarnya di to[ang oleh demokrasi. Namun, peran birokrasi pada masa itu tidak menunjukkan potret yang baik. Persepsi masyarakat memperlihatkan bahwa citra dan kinerja birokrasi masih harus lebih ditingkatkan. Bahkan, masyarakat terkesan enggan untuk berurusan dengan birokrasi, karena berkonotasi dengan citra negative seperti redahnya kualitas pelayanan public, berprilaku korup dan nepotism (KKN), memiliki kecenderunga untuk memusatkan kewenangan, masih rendahnya profesionalisme, dan tidak terdapatnya budaya dan etika yang baik.
Tanggapan negative masih tertanam bahkan setelah lebih dari 16 tahun reformasi 1998 begulir perbaikan birokrasi yang dicanagkan pemerintah selama ini belum berjalan secara optimal. Berbagai upaya perbaikan telah diupayakan, namun belum dapat menciptakan system birokrasi yang mantap dan membawa konsekwensi terlaksananya agenda reformasi secara cepat dan tepat. Perbaikan birokrasi belum juga menunjukkan gejala perbaikan yang positif. Bahkan sebaliknya kelembagaan birokrasi semakin transparan dalam melakukan korupsi dan akuntabilitas public menjadi pertanyaan besar.
Hasil penelitian lembaga Political and Economic Risk Consultansy (PERC) yang dilakukan pada tahun 2002, Indonesia masuk Negara yang terpuruk birokrasinya., sampai saat ini belum mengalami perubahan yang cukup signifikan. Laporan terakhir World Economic Forum (WEF) tahun 2004 tentang Global Competitiveness Ranking (GCR) bahkan menempatkan Indonesia berada di urutan ke-69 dari 104 negara yang diamati. Salah satu aspek penilaian adalah birokrasi pemerintah (kelembagaan pemerintah) yang mengindikasikan sejauh mana lembaga pemerintah memberikan kemampuan pelayanan yang baik berorientasi pada pelanggan atau public, minjimya korupsi, atau berorientasi pada kerangka hokum yang jelas.
Banyak factor yang signifikan menjelaskan kondisi keterpurukan birokrasi di tanah air, dan beberapa dijelaskan dalam uraian sebagai berikut.
Pertama, masih lemahnya kesadaran dan kemampuan untuk melakukan prinsip-prinsip good governance dengan baik. Jika hal ini dilakukan secara baik, maka masyarakat akan dapat memahami dan merasakan peran dan fungsi birokrasi yang sesungguhnya pada saat mendapatkan pelayanan. Di samping itu, masyarakat yang memahami dengan baik akan peran fungsi birokrasi akan menjadi kekuatan yang baik dalam melakukan perubahan secara efisien, namun juga bisa terjadi sebaliknya menjadi kelemahan dan bahkan penghambat dalam melakukan perubahan.
Di masa reformasi banyak yang optimis bahwa kinerja birokrasi di Indonesia akan semakin membaik. Hal ini diperkuat oleh adanya perubahan mendasar dalam administrasi public dan pemerintahan. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 22 Tahun 1999 (telah diubah dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah), pemerintah hanya mengelolah enam bidang saja, yaitu politik luar negeri, pertahanan keamanam, peradilan, moneter, fiscal dan agama, serta beberapa bidang lainnya. Konsekwensinya adalah adanya perubahan kelembagaan yang sangat berarti dalam konteks desentralisasi yang tentunya membawa implikasi baru dalam manajemen public yang telih terfokus pada daerah dan lebih menguasai persoalan dan kondisi budaya local.
Kedua, system pemerintahan desedntralisasi yang digulirkan sejak era reformasi merupakan angin segar dalam pelaksanaan birokrasi, teritama di daerah. Daerah dengan kewenagan dan tanggung jawab yang diembanya dapat merancang dan melaksanakan pelayanan terhadap masyarakat sesuai dengan kondisi geografis dan demografisnya. Hal ini juga mendorong banjgkitnya prakarsa dan kreativitas pemerintah daerah bersama-sama dengan masyarakat dan swasta untuk menciptakan kerjasama yang harmonis dalam rangka membangun pelayanan yang baik. Namun, dalam pelaksanaan desentralisasi di era otonomi daerah ini muncul penafsiran yang beragam dan bahkan cenderung kebablasan sehingga terkesan menciptakan penguasa-penguasa dan raja-raja kecil di daerah. Artinya, dalam pelaksanaanya ada kecenderungan sebagian pemerintah daerah menafsirkan bahwa mereka memiliki kekuasaan yang sangat tinggi dalam mengurus rumah tangganya tanpa memperhatikan hubungan koordinasi dengan pemerintah pusat.
Ketiga, konsekwensi dari otonomi daerah yang kebablasan inilah, tidak bisa dinafikkan kondisinya saat ini banyak posisi atau jabatan di birokrasi di isi oelh orang-orang yang tidak memiliki kemampuan dan keterampilan yang sesuai dengan pekerjaannya. Hal tersebut terjadi karena lebih mengutamakan pada pengangkatan posisi di dalam jabatan structural, yang lebih diutamakan katena ruang, pangkat, golongan atau karena senioritas, bukan karena kopentensinya. Kondisi inilah yang terkadang sering menimbulkan penyimpangan wewenang dan penyalahgunaan kekuasaan.
Birokrasi yang demikian, tentunya bukan menjadi harapan masyarakat. Pemerintah sendiri sebenarnya telah menyediakan paying hokum untuk menciptakan good governance sekaligus upaya untuk menunjukkan komitmenya terhadap prakti-praktik penyimpangan dan penyalahgunaan kekuasaaan dalam system birakrasi di tanah air. Contohnya saja, Tap MPR RI No. XI/MPR/1999 dan UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan nepotisme, serta UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 1999 tentang Komisi Pemeriksaan Kekayaan Negara, demikian pula dengan UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Semua Payung hokum ini di buat untuk menjaga aparatur birokrasi, sebagai garda terdepan pelayanan public, menjadi bersih dan professional., sehingga harapannya kepercayaan masyarakat akan berangsur menjadi positif.
Keempat, masih kurang efisiennya institusi birokrasi sendiri. Pada masa sebelum reformasi dilakukan, aparatur atau SDM birokrasi banyak yang tidak berkompeten di bidang pekerjaan dan tidak professional karena praktik-praktik nepotisme. Walaupun sebenarnya saat ini kondisinya tidak banyak berubah secara dramatis. Birokrasi menjadi gemuk karena harus menampung sanak saudara dan keluarga para pejabat atau penguasa dalam birokrasi. Rendahnya mutu aparatur atau SDM birokrasi bisa dilihat dari beberapa indicator seperti kemampuan pelayanan yang tidak optimal, sebagian besar waktu tidak digunakan secara produktif, dan belum optimalnya peran-peran dalam menemukan terobosan menjalankan tugas sebagaimana diamatkan.
Kelima, belum jelasnya standar kinerja yang dapat diukur untuk menentukan mutu output yang dihasilkan aparatur. Hal tersebut terkait dengan asumsi bahwa seberapapun kualitas dari output kegiatan yang dilaksanakan tidak akan memberikan perubahan terhadap penghargaan kepada aparatur yang bersangkutan. Kondisi ini terkait dengan motivasi, yang akan berpengaruh terhadap sanksi baik reward maupun punishment.
Keenam, pengawasan sebagai bagian dari proses interaksi pembelajaran sekaligus memberikan wahana dijalankannya system sanksi, penghargaan tidak atau belum berjalan sebagaimana diharapkan. Konsep pengawasan yang dijalankan saat ini masih merupakan ritual administrative yang tidak memiliki banyak manfaat dalam pengembangan SDM aparatur.
Ketujuh, kecenderungan lemahnya kompetensi terkait dengan penggunaan teknologi informasi menuju e-government merupakan salah satu tantangan dan kebutuhan. Apabila ditambah dengan minimnya fasilitas hardware dan software teknologi informasi dan komunikasi yang lebih canggih di lembaga-lembaga birokrasi, terutama di daerah. Hal ini berakibat pada pelaksanaan system pelayanan public yang masih manual dan lamban.
Kedelapan, hubungan dan komunikasi yang kurang terbuka diantara aparatur birokrasi yang ada membawa dampak terhadap kondisi ketidakpercayaan atau distrust (Fukuyama, 1999), sehingga memberikan fasilitasi komunikasi dialog dan rendahnya gagasan untuk pengembangan karena hubungan masih dilihat dalam konteks “siapa” yang dibicarakan dan bukan “apa” yang dibicarakan.
Kesembilan, rendahnya kualitas SDM aparatur, yang tercermin dari kondisi kesejahteraan pegawai,rekruitmen dan pembinaan karier, budaya kerja dan profesionalisme sumber daya aparatur yang belum sepenuhnya mampu memberikan pengaruh positif dalam proses perkembangan aparatur Karena persoalan kesejahteraan inilah, seringkali tindakan-tindakan yang tidak jujur atau tidak mengandalkan moralitas menjadi mengedepankan. Pungutan liar, tindak penyuapan dan semacamnya menjadi bagian yang membuat birokrasi semakin kompleks.
Kesepuluh, selain mentalitas dan budaya kekuasaan masih merupakan karakter sebagian besar aparat birokrasi pada masa reformasi. Kultur kekuasaan yang telah terbentuk semenjak masa pra-modern ternyata masih sulit untuk dilepaskan dari prilaku aparat atau pejabat birokrasi. Kultur seperti itu telah menyebabkan perilaku pejabat birokrasi menjadi bersikap acuh dan arogan terhadap masyarakat (Bagir, 2002). Perilaku-perilaku tersebut telah menyebabkan antara lain budaya kerja yang tidak disiplin, tidak tepat waktu, menunda-nunda pekerjaan, serta tidak ada kerjasama dan koordinasi dengan rekan kerja.perilaku birokrasi yang demikian dapat ditemui pada saat pengurusan pembuatan surat perizinan, yang tidak tepat waktu akibat penundaan suatu pekerjaan, disamping kurang adanya kerjasama di antara pegawai kerja untuk menyelesaikan surat perizinan sesuai waktunya.
Permasalahan dan kondisi seperti yang dijelaskan di atas, memang secara perlahan-lahan telah diantisipasi dan diatasi oleh pemerintah sendiri. Beberapa kementerian telah melakukan reformasi birokrasi sendiri diwilayah kerjanya. Memang jika tidak diperbaiki hal-hal terjadi diatas, maka akan sulit untuk mewujudkan tujuan mencapai kondisi reformasi birokrasi yang berorientasi pada pelayanan public atau public service.
Birokrasi dan Pelayanan Publik
Rendahnya kualitas pelayanan public merupakan salah satu sorotan yang diarahkan kepada birokrasi pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Perbaikan pelayanan public di era-reformasi merupakan harapan seluruh masyarakat, nemun dalam perjalanannya, ternyata tidak mengalami perubahan yang siknifikan. Berbagai tanggapan masyarakat justru cenderung menunjukkan bahwa berbagai jenis pelayanan public mengalami kemunduran yang sebagian di tandai dengan banyaknya penyimpangan dalam layanan public tersebut. Sistem dan prosedur pelayanan yang berbelit-belit dan sumber daya manusia yang lamban dalam memberikana pelayanan juga merupakan aspek layanan public yang banyak disoroti.
Dalam bidang pelayanan public, upaya-upaya telah dilakukan dengan menetapkan standar pelayanan public untuk mewujudkan pelayanan yang cepat, tepat, murah dan transparan. Namun upaya tersebut belum banyak dinikmati masyarakat. Hal tersebut terkait dengan pelaksanaan system dan prosedur pelayanan yang kurang efektif, berbelit-belit, lamban, tidak merespon kepentingan pelanggan, dan lain-lain adalah sederetan atribut negative yang ditimpakan kepada biroktasi.
Bahkan untuk meningkatkan pengawasan terhadap pelayanan public, pemerintah telah menetapkan terbentuknya Komisi Pelayana Publik (KPP) yang independen dan berada di tingkat pusat dan daerah. Akan tetapi, kenyataannya komisi ini tidak digunakan masyarakat dan malah terpuruk dengan masalahnya sendiri, terutama para komisionernya yang sibuk mengurusi tidak turunya gaji mereka.
Pelayanan public seringkali menjadi ukuran paling mudah dipahami sejauh mana kinerja pemerintah dalam melaksanakan fungsi-fungsinya. Pelayanan public adalah salah satun fungsi penting pemerintah selain regulasi, proteksi dan distribusi. Pelayanan public merupakan proses sekaligur output yang menunjukkan bagaimana fungsi pemerintah dijalankan. Ketidakpuasan terhadap kinerja pelayanan public dapat dilihat dari keenggana masyarakat berhubungan dengan birokrasi pemerintah atau dengan kata lain adanya kesan keinginan sejauh mungkin untuk menghindari dan bersentuhan dengan birokrasi pemerintah apabila menghadapi urusan.
Fenomena “high cost” ketika berhubungan dengan birokrasi pemerintah menjadi suatu keniscayaan yang terpaksa diterima. Kondisi-kondisi seperti ini sebagian besar ditemui pada keseluruhan level organisasi public yang memberikan pelayanan. Kondisi ini menandakan ketidakpuasan terhadap kinerja pemerintah dalam menyelenggarakan pelayanan terhadap public dinilai masih jauh dari optimal. Pemahaman terhadap fakta lemahnya birokrasi dilihat sejauhmana kemampuan mengaktualisasikan fungsi-fungsi pemerintah, yang berujung pada sejauh mana pelayanan public dapat dijalankan. Artinya, sejauhmana pemerintah mampu dan dapat berprilaku transparan, akuntabel, dan demokratis akan berdampak pada sejauh mana pelayanan public yang akan dan sudah dilakukan.
Desentralisasi dan Pelayanan Publik
Upaya untuk mewujudkan system pemerintah yang demokratis dan tidak sentralistik serta otoritarian telah diterapkan dengan konsep otonomi daerah yang diterapkan sejak tahun 1999. Dari sisi manajemen pemerintahan, penerapan desentralisasi dan otonomi daerah merupakan instrument utama untuk mencapai suatu Negara yang demokratis dan pemerintahan yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat. Tetapi dalam pelaksanaanya selama ini, kebijakan otonomi daerah masih menghadapi beberapa kelemahan, seperti otonomi daerah hanya dipahami sebagai kebijakan yang bersifat institutional belaka, perhatian dalam otonomi daerah hanya pada masalah pengalihan kewenangan dari pusat ke daerah, tetapi mengabaikan esensi dan tujuan kebijakan terserbut, otonomi daerah tidak dibarengi dengan peningkatan kemandirian dan prakarsa manyarakat di daerah sesuai tuntutan alam demokrasi.
Desentralisasi merupakan isu strategis lainnya yang menjadikan perhatian dalam reformasi birokrasi. Desentralisasi adalah sebuah bentuk pemindahan tanggung jawab, wewenang, dan sumber-sumber daya (dana, personel,dan lain-lain) dari pemerintah pusat ketingkat pemerintahan dibawahnya.Dasar dari inisiatif ini adalah bahwa proses desentralisasi dapat memindahkan proses pengambilan keputusan ke tingkat pemerintah yang lebih dekat dengan masyarakat. Karena merekalah yang akan merasakan langsung pengaruh program pelayanan yang dirancang dan klemudian dilaksanakan oleh pemerintah.
Prinsip dasar dari inisiatif diberlakukann UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemnerintah Daerah, yang kemudian diganti dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintah daerah dan UU No 33 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang lebih dekat dengan masyarakat, yaitu kepada mereka yang merasakan efek langsung dari program dan perencanaan serta pelaksanaan pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah.
Namun demikian, pelimpahan kewenangan sebagai implikasi dari UU No 22 dan 25 Tahun 1999, yang kemudian digantikan dengan UU No. 32 dan 33 Tahun 2004 ini, belum sepenuhnya diserahkan ke daerah. Pusat cenderung masih menarik ulur beberapa kewenangannya karena dianggap dae5rah belum mampu menangani sebagian kewenangan, seperti : kewenangan dalam pemberian perizinan, system perpajakan dan perkreditan dan hal-hal lain yang berkaitan dalam rangka mengatur rumah tanggannya masing-masing sehingga mengakibatkan belum efektif dan efisiensinya pelayanan public di daerah.
Demikian juga di tingkat pemerintah daerah. Sebagai konsekuensi UU 22/1999 yang di ubah dengan UU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah telah menyebabkan adanya pemekaran ,pelebaran, dan pembentukan pemerintah daerah baru yang pada gilirannys memiliki pengaruh terhadap peningkatan jumlah anggaran pemerintah untuk membiayai operasianal lembaga-lembaga tersebut dan penambahan jumlah pejabat. Hal ini mengakibat makin rumitnya persoalan birokrasi di daerah dan menjadi bhambatan lagi bagi upaya mewujudkan pelayanan public daerah.
Pelaksanaan otonomi daerah yang telah digulirkan oleh pemerintah melalui UU No. 22 Tahun 1999 sesungguhnya dapat dilihat sebagai upaya pemerintah untuk lebih meningkatkan pelayanan. Serangkaian pokok aturan dalam penyelenggaraan pelayanan public oleh pemerintah daerah dinyatakan dalam beberapa pasal UU 22 Tahun 1999. Dalam Pasal 7 UU 22 Tahun 1999 menyatakan bahwa peranan pemerintah daerah dalam pelayanan public mencakup seluruh bidang pemerinyah kecuali bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiscal, agama serta kewenangan bidang lainnya. Selanjutnya, dalam Pasal 11 UU 22 tahun 1999 menyatakan bahwa bidang pemerintahan yang nwajib dilaksanakan oleh daerah kabupaten dan daerah kota meliputi pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industry dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi dan tenaga kerja. Masih terkait dengan pasal-pasal tersebut, dalam padal 9 UU 22 tahun 1999 mengemukakan bahwa kewenangan provinsi.
Secara umum, Stakeholder menilai bahwa kualitas pelayanan public mengalami perbaikan setelah diberlakukannya otonomi daerah. Namun, hasil survey yang dilakukan UGM pada tahun 2002 menyimpulkan bahwa dilihat dari sisi efisiensi dan efektifitas, responsivitas, kesamaan perlakuan, dan besar kecilnya rente birokrasi masih jauh dari yang diharapkan (Bapenas, 2004). Beberapa kajian lain juga membuktikan bahwa kualitas dan mutu pelayanan public masih rendah, data tim Bapenas (2004) mengindikasikan hal-hal berikut . (1) World Investment Report 2003 indeks Foreigan Direct Investment periode 1999-2001; dari 140 negara, Indonesia urutan ke-138. (2) Human Development Report 2002, UNDP, dari 173 negara, Indonesia berada diurutan ke- 110 di bawah Fhilipina, Cina dan Vietnam. (3) Country Risk (Marvin Zonish & Assciate) dari 185 negara, Indonesia ururtan ke-150 di bawah kita Afganistan, Burundi dan Somalia. (4) Kepala Perwakilan Bank Dunia (Andrew Steer) 8 Juni 2004 : (a) tingkat penggunaan listrik, Indonesia pad urutan terakhir dari 12 negara Asia; (b) pelanggan telapon seluler Indonesia urutan ke-9 (12 negara); (c) akses sanitasi urutan ke-7: (d) akses jalan urutan ke-8; (e) air bersih urutan ke-7 (air bersih menjangkau 16% total populasi); dan (5) Word development Report 2004, akses rakyat terhadap pelayanan public masih rendah (pendidikan, kesehatan dan air bersih).
Dengan melihat hasil-hasil kajian dari berbagai lembaga tersebut dapatr disimpulkan betapa masih rendahnya kualitas pelayanan di Indonesia, padalah tuntutan kualitas dan kuantitas jasa layanan public oleh penggunaan (User) semakin meningkat. Penggunaan telah membayar jasa layanan public, tetapi kualitas dan kuantitas diinginkan belum terpenuhi. Teransparansi akuntabilitas dalam pelayanan public diperlukan untuk mengatasi kesenjangan pihak-pihak yang terikat dalam pelayanan public, sehingga dituntut pula regulator yang mampu mengalokasikan sumber daya yang ada dan terjadfi keseimbangan pihak-pihak yang terikat dalam pelayanan public. Diluar pengunaan pelayanan publik (non-user) perlu diperhatikan kepentingannya, khususnya tuntutan lingkungan strategis.
Hingga saat ini pelayanan public masih memiliki berbagai kelemahan antara lain : kurang responsive, kurang informative, kurang bisa diakses (accessible), kurang koordinasi, dan birokrasi dimana pelayanan perizinan pada umumnya dilakukan melalui proses yang terdiri dari berbagai level sehingga terlalu lama. Selain itu, pelayanan public juga kurang mau mendengar keluhan/saran/aspirasi masyarakat dan inefisien.
Menuju Birokrasi Berwawasan “Publik Service”
Hal yang membuat birokrasi lemah kinerja adalah mekanismenya yang sangat hirarkis. Ini terlihat dari budaya kerja bahwa setiap pekerjaan/urusan harus menunggu petunjuk, perintah, dan persetujuan dari atasan. Akibat dari kreativitas, inisiatif dan sikap kemandirian para birokrat kurang berkembang.
Perubahan struktur politik di era reformasi mengakibatkan lemahnya dukungan politik terhadap birokrasi. Perubahan struktur kepemimpinannya ternyata tidak serta merta menjadikan kinerja birokrasi menjadi baik dan bahkan cenderung sebaliknya. Senagai contoh, aparat birokrasi yang sejak semula tidak memiliki netralitas politik kemudian menjadi semacam penghambat dari dalam terhadap kinerja birokrasi di bawah pimpinan yang baru.
Peran-peran dominan dan bersifat monopoli oleh pemerintah di bidang pelayanan public, ternyata belum banyak mengalami perubahan dalam kaitannya dengan peningkatan kemampuan yang optimal dalam melakukan pelayanan. Hal ini dibuktikan dengan masih dirasakan tidak fleksibel dan kurang responsive dari organisasi pemerintah dalam menawarkan dan memberikan pelayanan kepada pelanggan. Hal tersebut terkait dengan belum banyaknya kelembagaan pemerintah yang didesain sedemikian rupa sehingga mampu merespons dinamika masyarakat informasi yang terus berkembang. Artinya, perspektif tata aturan suatu pemerintah yang kaku harus mulai dipikirkan dan dipertimbangkan perubahan kea rah organisasi yang tidak berkota-kotak.
Kecenderungan orientasi birokrasi hanya kepada Negara “kepada penguasa saja” dan mengabaikan pengabdiannya kepada masyarakat telah memberikan andil ketidak seimbangan peran ketiga actor baik pemerintah sendiri, masyarakat dan sector swasta. Kondisi yang tidak berimbang ini memfasilitasi munculnya pemerintah dengan perilaku kurang bisa bersaing, hal in disebabkan pemegang monopoli tertentu pada administrasi public tidak memberikan peluang untuk merespons terhadap kritik.
Demikian juga orientasi kepeda pelenggan internal yang berlebihan, member kecenderungan yang kurang sehat di mana agak sulit masyarakat memberikan kriitik. Gejala tersebut dapat dilihat dengan adanya kecenderungan pertumbuhan organisasi dengan struktur yang semakin gemuk, sebaliknya operasinal dari setiap unit organisasi tersebut semakin mengecil.
Peran birokrasi memberikan pelayanan kepada masyarakat masih belum sesuai dengan harapan dan keinginan masyarakat. Akan tetapi, menguatnya iklim demokratisasi di Indonesia saat ini berimplikasi pada semakin menguatnya tuntutan untuk memperoleh pelayanan public yang lebih baik dari birokrasi. Keadaan ini banyak dilatarbelakangi oleh kesadaran terhadap hak-hak sebagai konsumen yang telah melakukan kewajibannya dalam hal ini membayar pajak. Kesadaran terhadap hak diartikulasikan dalam bentuk tuntutan perbaikan pelayanan yang diselenggarakan oleh pemerintah, yang diharapkan terdapat pelayanan public yang lebih cepat, murah dan lebih baik atau faster, cheaper and better.
Oleh karena itu, orientasi pelayanan birokrasi harus berubah. Dari orientasi pelayanan kepada penguasa, menjadi orientasi pelayanan kepada public. Aktivitas pelayanan yang berorientasi kepada pelanggan, yang sesungguhnya adalah pelanggan eksternal dalam hal ini masyarakat luas. Kemampuan memberikan pelayanan yang lebih baik akan dapat dilakukan apabila pemerintah mampu untuk menilai secara saksama, apakah sebenarnya kebutuhan para pelanggannya.
Dalam konteks pelayanan ini, upaya memberikan pelayanan yang lebih baik oleh pemerintah salah satnya dengan melakukan desentralisasi sebagaimana diamatkan dalam UU No, 32 dan No. 33 Tahun 2004. Dengan demikian, desentralisasi merupakan salah satu jawaban untuk mendekatkan dan mengefektifkan pelayanan kepada pelanggan. Asumsinya pemerintah daerah yang kemudian memiliki kewenangan, memiliki pelanggan sendiri-sendiri dengan karakteristik yang berbeda-beda. Desentralisasi yang memberikan kewenangan lebih besar kepada pemerintah daerah merupakan peluang yang mengguntungkan dilihat dari perspektif upaya mengoptimalkan dan upaya membuat pelanggan lebih tepat sasaran dan berdaya guna. Prinsip dasar yang terkandung dari kedua UU tersebut adalah keinginan untuk meningkatkan pelayanan yang lebih tepat, dan lebih responsive kepada masyarakat. Asumsinya adalah pemerintah daerah yang paling mengetahui masalah dan kebutuhan masyarakatnya.
Dengan demikian, sesungguhnya birokrasi Indonesia saat ini harus direformulasi, yakni kembali pada paradigm pengelolaan pelayanan kepada public. Reorientasi kepada daerah sebagai ujung tombak pelayanan public dimaksudkan untuk menghadapi tuntutan pelayanan secara menyeluruh yang tidak lagi dilakukan secara terpusat, tetapi telah dapat dilaksanakan oleh pemerintah daerah.
Tambahan lagi, kecepatan teknologi informasi telah mengantarkan perubahan-perubahan yang sangat cepat. Teknologi informasi juga telah mengubah perkembangan global yang jauh berbeda disbanding sebelum era informatika lahir. Kejadian apapun mengenai suatu pemerintahan di belahan bumi manapun dapat disaksikan pada saat yang sama di belahan bumi lainnya. Era teknologi informasi yang semakin cepat telah memberikan suatu implikasi bahwa informasi menjadi sesuatu yang sangat penting. Kondisi menguatnya teknologi informasi telah memberikan ruang hidup tersendiri bagi birokrasi yang belum pernah terbayangkan sebelumnya. Teknologi informasi telah menghantarkan kehidupan dunia yang semakin tidak ada batasnya.
Informasi yang cepat diterima akan menimbulkan pemaknaan atas informasi. Apabila suatu informasi berkenaan dengan pemerintahan dan pelaksanaan birokrasi di suatu Negara di nilai baik, maka akan memunculkan efek image yang baik terhadap pemerintahan tersebut. Kondisi seperti ini mendatangkan implikasi lebih luas terkait dengan persepsi terhadap bangsa, kualitas pemerintahan, stabilitas politik, dan aspek lainnya. Pada gilirannya, informasi yang diterima oleh warga dunia akan berimplikasi pada sejauh mana warga dunia merespons untuk menanamkan investasi, sejauh mana rasa keamanan dapat tumbuh dan sejauh mana suatu pemerintahan dipercaya oleh warga dunia. Pada perkembangan selanjutnya, tuntutan kinerja birokrasi diukur dengan indicator-indikator yang sama dengan kinerja birokrasi di tempat lain.
Tersedianya TI dalam mendukung metode dan mekanisme kerja birokrasi seperti : e-government, e-procurement, e-business, e-audit, atau tersedianya TI dalam mendukung kerangka hokum dan kebijakan misalnya cyberlaw, telecoirt, dan sebagainya merupakan bentuk-bentuk upaya menuju pada system pelayanan public yang lebih akuntabel dan transparan.
Terkait dengan kondisi seperti ini, maka birokrasi Indonesia memiliki peluang untuk mampu mendongkrak kinerja pemerintah dengan memanfaatkan teknologi yang semakin berkembang. Teknologi informasi bisa dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya menyerap informasi dari pelanggan (masyarakat) secara cepat dan murah. Pengetahuan yang tepat terhadap harapan dan kebutuhan pelanggan pada dasarnya diharapkan dapat memberikan implikasi kemauan meningkatkan kompetensi, kemampuan untuk menggali potensi dan cara baru guna meningkatkan daya saing, atau melakukan aliansi strategis seiring dengan tuntutan perkembangan teknologi yang semakin cepat.
Birokrasi sebagai mesin dari pemerintah, pada dasarnya memproduksi barang baik dalam bentuk benda maupun jasa untuk kepentingan seluruh warga tanpa kecuali. Namun birokrasi yang monopoli memproduksi barang untuk kebutuhan dan kepentingan public, kecenderungan mengalami kesulitan pada proses produk dan layanan sampai kepada masyarakat. Apabila ketidakmerataan dan ketidakadilan ini terus-menerus, maka pelayanan yang berpihak pada golongan tertentu saja akan memunculkan potensi kecemburuan, mempertajam jurang yang kaya dan miskin dalam konteks pelayanan, dan disintegritas dalam kehidupan berbangsa.
Kecenderungan birokrasi “yang berpihak” kepada salah satu sekmen pelanggan, misalnya pada golongan yang memiliki uang atau yang mampu membeyar berpotensi untuk merusak citra birokrasi secara institusional dan bisa berimplikasi luas terhadap keutuhan bangsa. Selain itu akan semakin meruncingkan secara fisiologis perbedayaan orang kaya dan orang miskin. Di samping harapan birokrasi secara institusi yang netral sesuai amanah UU no. 43 Tahun 1999, relative belum dilaksanakan secara utuh. Itu dapat dilihat bagaimana oknum tertentu untuk mendapatkan suatu jabatan tertentu. Di samping itu, aparat birokrasi masih melakukan aktifitas ekonomi baik pada waktu jam kerja maupun sesudah jam kerja, yang tujuannya untuk memenuhi kebutuhan hidup diri dan keluarganya.
Hal lain yang perlu dicermati dalam prilaku birokrasi kita adalah netralitas terhadap pemimpin terpilih. Terdapat kecenderungan bahwa birokrasi umumnya cenderung melakukan afiliasi politik terhadap pemerintah yang berkuasa. Gejala ini berdampak negative terhadap sportifitas pelayanan kepada seluruh lapisan masyarakat. Oleh karena itu, salah satu pertimbangan penting yaitu perlunya memperkuat netralitas birokrasi adalah untuk menjaga kemampuan melayani pelanggan internal (pemerintah) maupun eksternal (masyarakat luas) tanpa diskriminatif. Karena apabila tidak demikian maka sesungguhnya reformasi politik yangn sedang dijalankan akan menemui batu sandungan ketika birokrasi belum mampu menempatkan dirinya dalam koridor netralitas. Pada saatnya lemahnya kemampuan untuk bersikap netral akan menyebabkan terjadinya staknasi reformasi.
Lebih dari Itu, pemerintah harus mengupayakan fungsi pelayanan public yang optimal. Pengelolaan pelayanan public cenderung lebih bersifat direktif yang hanya memperhatikan/mengutamakan kepentingan pimpinan/organisasinya saja, harus diubah. Pelayanan public harus dikelolah dengan paradikma yang bersifat supportif dimana lebih memfokuskan diri kepada kepentingan masyarakatnya, pengelolaan pelayanan harus mampu bersikap menjadi pelayan yang sadar buntuk melayani dan bukan dilayani.
Dalam konteks desentralisasi, pelayanan public seharusnya menjadi lebih responsive terhadap kepentingan public, dimana paradigm pelayanan public beralih dari pelayanan yang sifatnya sentralistik ke pelayanan yang lebih memberikan focus pada pengelolaan yang berorientasi kepuasan pelanggan.
Untuk menuju pada terwujudnya birokrasi yang berwawasan atau berorientasi pada pelayanan public, beberapa criteria harus dipenuhi seperti berikut. (Mohamad, 2003 dalam bapenas ,2004):
- Lebih memfokuskan diri pada fungsi pengaturan melalui berbagai kebijakan yang mengfasilitasi berkembangnya kondisi kondusif bagi kegiatan pelayanan kepada masyarakat.
- Lebih memfokuskan diri pada pemberdayaan masyarakat sehingga masyarakat mempunyai rasa memiliki yang tinggi terhadap fasilitas-fasilitas pelayanan yang telah dibangun bersama.
- Menerapkan system kompetisi dalam hal penyediaan pelayanan public tertentu sehingga masyarakat memperoleh pelayanan yang berkualitas.
- Terfokus pada pencapaian visi, misi, tujuan dan sasaran yang berorientasi pada hasil (outcome) sesuai dengan masukan yang digunakan.
- Lebih mengutamakan apa yang diinginkan oleh masyarakat.
- Pada hal tertuntu pemerintah juga berperan untuk memperoleh pendapat dari masyarakat dari pelayanan yang dilaksanakan.
- Lebih mengutamakan antisipasi terhadap permasalahan pelayanan
- Lebih mengutamakan desentralisasi dalam pelaksanaan pelayanan.
- Menerapkan system pasar dalam memberikan pelayanan.
Selain itu, pelayana public juga harus (1) memiliki dasar hokum yang jelas dalam penyelenggaraannya, (2) memiliki stakeholder yang luas, (3) memiliki tujuan social, (4) dituntut untuk akuntabel kepada public, dan (5) memiliki indicator performance (Mohamad, 2003 dalam Bapenas, 2004).
Penutup
Dorongan kebutuhan untuk perubahan dalam rangka merespon dinamika lingkungan local dan global yang semakin kompleks dan penuh persainagn memerlukan upaya serius yang harus dilakuakn oleh birokrasi di tanah air. Permasalahan berkaitan dengan kondisi dan mentalitas aparatur birokrasi, yang menjadi ujung tombak pelayanan public, sekaligus indicator keberhasilan pelayanan harus ditingkatkan mutu kualitas pemahamannya akan tugas, mentalitas melayani bukan dilayani, dan jujur dalam melaksanakan ugas menjadi ktusial untuk ditangani.
Keberhasilan pelaksanaan fungsi-fungsi pemerintah akan sangat ditentukan seberapa kompeten SDM aparatur dalam memegang jabatannya. Implikasinya diperlukan suatu upaya untuk menjamin agar terjadi proses pembelajaran yang berkesinambungan dan peningkatan diri terus menerus dan upaya terencana untuk mengidentifikasi kesenjangan kinerja dan merespon dengan solusi yang tepat dan efektif.
Suatu tatanan dimana kentalnya semangat nepotisme sering kali memberikan kondisi dimana praktik ketidakpercaan terhadap keberadaan individu lainnya. Sejalan dengan hal itu, ndi dlam masyarakat itu sendiri telah terjadi kekentalan semangat etnisisme dan melemahnya kepercayaan (trust) di antara anggota masyarakat itu sendiri (Fukuyama, 2000). Dalam batas-batas tertentu apabila modal social kian melemah, sebuah bangsa berada pada titik nadir kebangkrutan. Banyak kasus dimana korupsi yang menggurita menyebabkan chaos, sebuah pintu darurat akibat ketidakpuasan dan mengakibatkan bergantinya regime melalui proses kekerasan. Dalam perspektif lain, GONE theory yang dikemukakan oleh Jack Bologne menjelaskan bahwa factor-faktor yang menyebabkan terjadinya kecurangan meliputi greeds (keserakahan), opportinuties (kesempatan), needs (kebutuhan), dan exposures (pengungkapan).
Selain itu, kesadsaran terhadap implementasi fungsi-fungsi penting pemerintah pada dasarnya mengerucut pada pelayanan public yang optimal. Artinya, harus diupayakan dengan sungguh-sungguh agar birokrasi memiliki kompetensi orientasi pelanggan internal dan eksterna yang jelas dan berimbang. Dengan demikian, tidak dikenal lagi birokrasi yang melayani dirinya sendiri atau hanya melayani perintah, biorkrasi yang tidak memiliki ukuran dasar (bottom line) untuk dinilai kinerjanya, dan tidak dikenal lagi birokrasi yang mewujud sebagai agen yang berpotensi memunculakn polarisasi karena perbedaan pemberian pelayanan terhadap kelompok masyarakat berpunya (the have) dengan kelompok masyarakat yang kurang beruntung (the have not).
Pelaksanan desentralisasi yang pada ujungnya adalah memeratakan kesejahteraan dan keadilan serta semakin mendekatkan pelayanan masyarakat dengan upaya desentralisasi melalui otonomi harus tetap menjaga kesatuan dalam bingkau NKRI yang mewujud pada otonomi masyarakat dan bukan pada otonomi wilayah. Artinya, harus diupayakan dengan sungguh-sungguh pemerintah daerah yang mampu menjalin sinergi dengan pemerintah daerah lainnya, dan juga pemerintah pusat untuk mengupayakan orientasi pelayanan yang tepat terhadap masyarakat. Dengan demikian, tidak di kenal lagi birokrasi pemerintah daerah yang menjalankan fungsi-fungsi dengan hanya bersandar pada sentiment kedaeraha yang berujung pada egoisme daerah dan menjebak birokrasi untuk hanya melayani kepentingan pemerintah daerah, tetapi melupakan substansi dan esensi fungsi pemerintah yang melayani masyarakat.
Penulis : H. Jufri, M.Si
Merupakan Auditor Madya Itjen Kementerian Agama RI