Rejang Lebong (Inmas)- Akad nikah di Kabupaten Rejang Lebong, terutama yang dilakukan di luar KUA, selalu diawali dengan prosesi adat. Prosesi adat tersebut biasanya menggunakan simbol-simbol tertentu. Seperti, sirih atau iben, pinang, tembakau, rokok, gambir, dan lain-lain. Adat tersebut telah diwarisi sejak zaman nenek moyang suku Lembak/Rejang.
Menurut Badan Musyawarah Adat (BMA), ritual adat berisi tentang ucapan selamat datang, izin sebelum bicara, niat atau tujuan sebuah acara. Dalam menyampaikan tujuan yang dianggap penting dan sakral, suku Lembak/Rejang menggunakan pribahasa, petatah-petitih dan simbol khusus.
Kepala KUA Binduriang, Darwis, S.Ag mengatakan bahwa prosesi adat tersebut sama sekali tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Malah sebaliknya, ritual adat menambah sakralnya sebuah prosesi akad nikah.
Al-Quran dan Hadis juga sering menggunakan perumpamaan dan permisalan dalam menyampaikan suatu pesan. Misalnya, Allah mengumpamakan orang-orang yang mencari perlindungan kepada selain Allah bagaikan laba-laba yang membangun rumah. Perumpamaan tersebut melukiskan betapa lemah pelindung-pelindung mereka.
“Al-‘Adatu Muhakkamah, adat dan kebiasaan dapat ditetapkan sebagai hukum. Demikian sebuah kaidah mengatakan. Adat merupakan segala sesuatu yang dipraktikkan manusia secara terus menerus yang sejalan dengan akal sehat dan telah menjadi kebiasaan mereka. Abû Fadl Jalâl al-Dîn ‘Abd al-Rahmân al-Suyûthî, di dalam kitab Al-Asbâh wa al-Nazâir fî Qawaîd wa Furû’ Fiqh al-Syafî’îyah, mengatakan bahwa setiap yang datang dengannya syara’ secara mutlak, dan tidak ada ketentuannya dalam syara’ dan bahasa, maka dikembalikan kepada ‘urf atau adat”, papar Darwis, Senin (20/11) di Binduriang.
Darwis menambahkan bahwa ritual adat selama ini harus dipahami secara filosofis. Karena itu, Penghulu tidak hanya dituntut memahami hukum munakahat saja, tetapi juga filsafat, sosiolosi agama, dan antropolgi agama. Sehingga Penghulu tidak mudah membidh’ahkan pihak lain yang secara lahiriah bertentangan dengan syari’at. (Bulkis)